Jakarta wartaindo, com Proses budaya dan hukum yang mungkin tak terjangkau oleh nalar awam kita, cukup mengikuti saja prosesnya yang tengah berlangsung. Toh, kebenaran yang sebenarnya akan kita nilai serta disimpulkan juga dengan nalar yang sehat.
Kedua masalah itu memang sungguh mencengangkan setelah mengikuti perkembangan cerita dan berita ikhwal “Fenomena Citayam Week” lumayan banyak respon positif dan tanggapan negatif yang lebih bersifat pribadi terhadap ulasan saya.
Dan sebagai penulis yang menaruh minat pada soal sosial kemasyarakatan, saya sempat dianggap tidak tertarik mengulas kasus “Polisi Yang Menembak Polisi” itu. Padahal beritanya sangat amat viral dan menjadi perhatian luas masyarakat. Sementara saya dianggap lebih mementingkan soal abak-anak muda yang berkeliaran di kawasan Sudirman, Jakarta itu.
Tapi yang pertama perlu diungkapkan adalah “Fenomena Citayam Week” itu dikatakan Ustad Mohammad Ghufrun pasti punya muatan spiritual yang kuat. Sebab bila tidak, tak mungkin akan begitu marak dan sangat kuat menyedot perhatian anak-anak muda, hingga viral serta menjadi suatu Fenomena yang sangat menakjubkan.
Setidaknya, sejumlah penting mulai dari Presiden hingga Gubernur DKI Jakarta — bahkan ikut pula kemudian Gubernur Jawa Barat — memberi respon positif, bila kegandrungan baru anak-anak muda di Kawasan (Stasiun Kereta) Sudirman itu, seperti menemu ladang tambang kreatifitas baru yang perlu dieksploitasi hingga melahirkan kreatifitas baru untuk terciptanya lapangan kerja baru yang kelak bisa ditekuni sebagai profesi untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Pujian serupa datang dari Dinda Andri di Madiun. Dia sepakat juga seperti yang dikatakan Wahyu dari Purwakarta, dan Hermansyah asal Jambi, bahwa kreatifitas kawan kawuka muda itu adalah upaya untuk mencari jati diri. Karena di rumah dan lingkungan tempat tinggal pada umumnya tidak memiliki fasilitas gratisan seperti itu yang bisa langsung mendapat penilaian dari khalayak ramai yang menyaksikan kreasi dan aktivitas tersebut.
Terlepas dari dugaan dan kekhawatiran yang negatif, karena memang tidak sedikit diantara kawula muda itu yang sempat bermalam di lokasi sekitar tempat mereka bermain itu, juga diakui memang cukup rawan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Namun toh, pada momen serupa inilah aparat keamanan setempat perlu melakukan pengawasan dan penjagaan yang sifatnya lebih memberikan perlindungan. Bukan melarang dan membatas- batasi aktivitas dan kreatifitas kawula muda itu yang baru menemukan habitatnya.
Karena menurut sejumlah penangkapan ulasan saya tersebut, boleh jadi diantara sekian banyak abak-anak muda itu yang memang tidak mendapat tempat yang patut mereka dapatkan dari lingkungan keluarga, tempat tinggal maupun pemerintah setempat, seperti dari Citayam, Bogor dan Depok serta daerah lain. Masalahnya bisa jadi par orang tua merekapun memiliki hobi dan keasyikan sendiri. Meski secara materi mungkin saja cukup bila tak bisa dikatakan berlebih. Terapi, perhatian terhadap anak-anak remaja yang sedang proses bertumbuh dan mencari jati dirinya yang sejati, boleh jadi tidak dapat mereka peroleh dari lingkungan keluarga atau do daerah tempat tinggal mereka
Sementara Herry dari Depok, justru lebih terbuka mengungkapkan, jika umumnya orang tua termasuk Papi dan Maminya yang bekerja di instansi pemerintah juga memiliki hobi dan keasyikan sendiri-sendiri. Jika ada tamu yang datang ke rumah termasuk saudara baik dari pihak ayahnya maupun saudara dari pihak ibu katanya yang dibicarakan hanya seputar bisnis. Bahkan tak jarang sering membuka peluang adanya proyek besar dari instansi tempat mereka bekerja yang bisa memberi keuntungan besar. Termasuk, cara menciptakan proyek-proyek kecil yang rutin bisa dikerjakan, sebelum proyek besar di peroleh, kata Herry berkisah.
Lalu mengapa harus menjadi masalah, jika kami sebagai generasi muda membuat keasyikan sendiri yang kami anggap lebih kreatif untuk mencari dan menciptakan peluang yang kelak mungkin bisa menjadi lapangan kerja di masa depan, imbuh Harry dalam nada bertanya atau mungkin pula sedang menggugat.
Seakan-akan, semua pernyataan kawalu muda itu hendak mengatakan, bila para orang tua bisa asyik dengan pekerjaan sendiri, termasuk sikap yang culas menggerogoti harta negara dan uang rakyat, toh sering dikatakan usil pula bila dikritik dan dibicarakan oleh publik.
Dalam perspektif lain, kreatifitas dan aktivitas adik- adik remaja di Kawasan SCBD (Sudirman Citayam, Bogor dan Depok) itu harus dapat diterima sebagai bagian dari perlawanan budaya terhadap kegagalan melihat peradaban yang makin terjerembab pada kebaikan materialustik, jauh dari laku spiritual seperti yang dicermati oleh Ysrad Ghufron diatas.
Boyongan dari laku spiritual yang diusung para kawula muda yang sangat fenomenal itu, memang bisa dicermati dari kesadaran spontan mereka yang terpanggil, ikut bergabung untuk terus berbaur hingga membuat kesepakatan-kesepakatan yang bisa dipastikan tidak akan lebih dominan soal cinta dan asmara. Sebab, bila cuma itu masalahnya, mungkin tak perlu harus membangun dan menciptakan tempat yang baru seperti panggung sebra cross Kawasan Sudirnan Jakarta yang telah terlanjur menjadi sangat fenonenal itu.
Bandingannya bagi kawula muda di Semarang yang menikmati suasana malam di kawasan Simpang Lima Ibu Kota Jawa Tengah, mendapat perhatian dari aparat yang membatasi waktu santai mereka hanya sampai pukul 22.00 pada malam hari. Bisa jadi Peraturan Daerah (Perda) setempat boleh jadi telah dibuat oleh pemerintah setempat.
Jadi masalah pilihan sikap saya pun untuk tidak menulis kasus “Polisi Yang Menembak Polisi”, pertama agar tidak menambah keruetan pihak aparat untuk mengungkap kasus tersebut. Kecuali itu, masalah “Polisi Yang Menembak Polisi” Ini sudah ditangani serius oleh Polisi.
Meski kesannya persis seperti iklan “jeruk makan jeruk” itu sungguh sangat oleh masyarakat. Saya sendiri pun sangat percaya pada mereka yang bermain-main dengan hukum apalagi menyangkut nasib dan nyawa bagi manusia sangat yakin dan percaya keadilan dari Tuhan akan diberikan bagi mereka sesuai dengan perbuatan yang dikakukan.
Lagian,menurut, “Masalah Polisi Yang Menembak Polisi” itu terlalu rumit, mulai dari waktu peristiwa terjadi yang diduga terjadi pada hari Jum’at namun baru diungkap pada hari Senin, lalu TKP-nya yang ganjil (di Jakarta atau di Megelang), dan Ketua Rukun Tetangga perumahan elite itu justru tidak lebih mendapat laporan, hingga cerita ambulan yang membawa jenazah ke rumah sakit untuk di visual tidak juga jelas, sampai pada kronologis proses menghantarkan jenazah keoada pihak keluarga di Medan bisa dihadiri oleh seorang Jendral Kepolisian. Itu semua pertanyaan yang rumit bagi saya yang punya kapasitas untuk melakukan analisis yang paling sederhana sekalipun.
Apalagi kemudian, kasusnya terus semakin melebar hingga masalah yang tragis itu jadi terkesan sungguh telah melibatkan banyak pihak. Mulai dari pejabat terkait hingga petugas forensik serta sejumlah dokter yang melakukan visum bisa saja banti ikut diusut. Apalagi, kemudian dalam upacara pemakaman secara kedinasan baru dilakukan setelah jenazah korban divisum ulang.
Jadi yang pasti, makin banyak pelaku yang diduga ikut terlibat jadi semakin meyakinkan bila terbunuh seorang polisi yang baik itu kuat diduga telah dilakukan oleh oknum polisi ini menjadi semakin rumit. Setidaknya bagi saya sebagai pendukung dan pembela rakyat maupun mantan jurnalis — sungguh tidak memiliki kompetensi untuk membuat analisis paling sederhana sekalipun — pada masalah besar ini yang mempertaruhkan nama baik instansi kepolisian yang sangat kita cintai.
Kecuali itu, toh pihak Kepolisian sendiri sudah tampak berupaya maksimal untuk menanganinya dengan baik, agar kepercayaan rakyat terap dapat terjaga citranya. Sementara soal masalah anak muda di Kawasan SCBD Jakarta yang juga sempat menyedot perhatian publik, perlu diurus bersama seluruh elemen masyarakat, karena mereka sebagai generasi pewaris masa depan republik ini harus kita jaga bersama.
Paling tidak, “Masalah Polisi Yang Menembak Polisi” bagi saya tidak cukup mampu untuk membuat analisa — yang spekulatif sekalipun — untuk kasus yang maha berat dan rumit ini. Ibarat peradaban yang tengah terguncang hebat, segenap struktur dan bentuknya sudah berantakan dan perlu segera dibangun ulang dengan tindakan nyata bersama untuk menatanya.
Realitasnya soal sarana aktivitas dan peluang kreatifitas bagi anak-anak muda di SCBD ini makin ruet. Konon ada pihak pebisnis yang telah melakukan pencalonan atau pembajakan terhadap ruang publik dengan segenap merk datangnya untuk dikomersialkan.
Sedangkan soal “Polisi Yang Menembak Polisi”, agaknya cukuplah mengikuti saran para pakar hukum, Patra Zen misalnya, agar suamikuna nawwatak na saja pada proses hukum yang tengah dilakukan.
Penulis
Jacob Ereste :
Cirebon–Semarang, 27 Juli 2022