Oleh : Yudhie Haryono (Presidium Forum Negarawan)
Agus Rizal (Ekonom Universitas MH Thamrin)
Wartaindo. Jakarta Ini soal yang bepuluh tahun tak selesai, cenderung tidak diselesaikan. Padahal sangat penting. Tanpa penyelesaian itu, negera ini laksana negara kolonial. Mengapa begitu? Karena reformasi agraria dalam konteks pembangunan ekonomi nasional tidak lagi dipahami sekadar sebagai proses redistribusi tanah, tetapi sebagai gerakan struktural untuk mengembalikan keadilan sosial dan kelestarian ekologis serta dinamisator kehidpan selaras alam.
Dalam Rancangan Undang-Undang Perekonomian Nasional, kebijakan agraria dirumuskan sebagai instrumen untuk memperbaiki ketimpangan kepemilikan, menguatkan kedaulatan sumber daya, serta mengakui hak masyarakat adat sebagai subjek hukum yang sah. Pendekatan ini menandai perubahan paradigma yang signifikan: dari tanah sebagai komoditas pasar menjadi tanah sebagai hak sosial yang melekat pada kehidupan bersama warga negara.
Negara tidak cukup hanya mengatur kepemilikan, tetapi harus memastikan distribusi dan pengelolaan sumber daya agraria berjalan adil, berkelanjutan, dan berdaulat. Inilah bedanya tanah zaman kolonial dan tanah zaman merdeka!
Selama puluhan tahun, masalah agraria di Indonesia mencerminkan kontradiksi antara kepentingan ekonomi makro dan realitas sosial di tingkat akar rumput. Tanah yang semestinya menjadi ruang hidup bersama justru menjadi alat akumulasi modal oleh kelompok tertentu. Ketimpangan kepemilikan lahan, konflik berkepanjangan, dan penggusuran masyarakat adat adalah gejala dari sistem ekonomi yang menyingkirkan nilai sosial dan moral tanah.
Dalam hal ini, Rancangan Undang-Undang Perekonomian Nasional hadir sebagai upaya korektif yang menempatkan keadilan sosial di atas logika pasar. Prinsipnya jelas: tanah bukan semata aset ekonomi, melainkan bagian dari hak hidup dan keberlanjutan generasi.
Kebijakan reformasi agraria dalam rancangan ini menempatkan negara sebagai pelindung dan penata ulang struktur kepemilikan tanah nasional. Pemerintah diwajibkan melakukan redistribusi tanah yang berpihak pada petani kecil, masyarakat adat, dan kelompok ekonomi lemah yang menggantungkan hidup pada lahan produktif.
Redistribusi ini bukan tindakan karitatif, melainkan langkah struktural untuk memperkuat kemandirian ekonomi warga negara. Melalui sistem hukum yang menjamin transparansi, kepastian hak, dan keadilan prosedural, tanah diorientasikan kembali sebagai alat produksi yang memberi manfaat kolektif, bukan sekadar instrumen investasi bagi segelintir elite ekonomi.
Perlindungan terhadap masyarakat adat menjadi bagian integral dari agenda reformasi ini. Negara diamanatkan untuk menghormati, melindungi, dan memberdayakan komunitas adat dalam mengelola wilayah dan sumber daya mereka sendiri. Perlindungan hukum adat tidak saja dipahami sebagai romantisasi masa lalu, tetapi sebagai pengakuan terhadap sistem sosial yang telah terbukti mampu menjaga keseimbangan ekologis dan sosial secara turun-temurun.
Dengan mengakui hak ulayat dan memperkuat sistem hukum adat yang selaras dengan prinsip keadilan nasional, negara memperluas legitimasi konstitusionalnya hingga ke akar kehidupan sosial warga-negara.
Dimensi ekologis menjadi aspek penting dalam kebijakan reformasi agraria. Eksploitasi tanah yang berlebihan tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan telah menimbulkan kerusakan ekologis, bencana sosial, dan kemiskinan struktural.
Oleh karena itu, reformasi agraria yang berkeadilan harus pula berkelanjutan. Tanah harus diperlakukan sebagai ekosistem hidup, bukan sekadar lahan produksi. Keadilan agraria yang terintegrasi dengan perlindungan hukum adat membuka ruang bagi tata kelola sumber daya berbasis kearifan lokal yang selaras dengan prinsip keberlanjutan.
Rancangan ini juga menegaskan perlunya sistem pendaftaran tanah nasional yang memasukkan pengakuan wilayah adat sebagai bagian integral dari tata ruang hukum negara. Peta tanah nasional harus mencerminkan realitas sosial dan historis, bukan hanya data administratif atau kepentingan investasi. Pengakuan legal atas wilayah adat akan mencegah konflik tenurial antara masyarakat lokal dan korporasi besar, sekaligus memperkuat hak masyarakat adat untuk mengelola wilayahnya secara otonom dan bertanggung jawab.
Secara teoritis, arah kebijakan ini konsisten dengan teori keadilan sosial struktural Iris Marion Young (1949-2006) yang menolak pandangan keadilan semata sebagai distribusi sumber daya, dan menekankan perlunya penghapusan dominasi serta marginalisasi dalam struktur sosial. Dalam konteks agraria, keadilan tidak hanya diukur dari berapa luas tanah yang dibagikan, tetapi juga sejauh mana masyarakat adat mendapatkan kembali hak politik, sosial, dan ekologisnya dalam pengelolaan sumber daya.
Lebih jauh, pendekatan ini sejalan dengan Theory of the Commons yang dikembangkan oleh Elinor Ostrom (1933-2012), yang menegaskan bahwa sumber daya bersama dapat dikelola secara efektif oleh komunitas lokal melalui norma dan institusi sosial yang mereka bangun sendiri. Pengakuan terhadap tanah adat dan model pengelolaan kolektif mencerminkan bentuk tata kelola bersama (commons governance) yang efisien secara sosial dan berkelanjutan secara ekologis.
Dengan demikian, reformasi agraria dan perlindungan hukum adat dalam Rancangan Undang-Undang Perekonomian Nasional bukan sekadar kebijakan administratif, melainkan transformasi ideologis dan moral terhadap tata ekonomi yang timpang.
Sekali lagi, Negara Pancasila tidak boleh netral terhadap ketimpangan kepemilikan dan dominasi kapital atas tanah. Tugas negara adalah mendengar suara tanah—suara yang selama ini dibungkam oleh kepentingan modal dan kekuasaan. Ketika tanah kembali menjadi milik bersama, ketika hukum adat diakui sejajar dengan hukum negara, maka kedaulatan ekonomi dan keadilan sosial tidak lagi menjadi cita-cita abstrak, melainkan kenyataan yang menegakkan martabat bangsa. Semoga.(*)