Wartaindo Jakarta – Dialog lewat zoom ini mengankat tentang tragedi kemanusiaan yang menimpa umat Kristen di Nigeria kembali menjadi sorotan. Dalam sebuah diskusi daring bertajuk “Pembantaian Umat Kristen di Nigeria: Siapa Peduli?” yang digelar Minggu (12/10), sejumlah kalangan dan tokoh agama mendesak gereja dan masyarakat Indonesia untuk membuka mata dan mengambil sikap.
Acara yang digelar Pewarna Indonesia bersama Simposium Setara Menata Bangsa dan Asosiasi Pendeta Indonesia (API) ini menghadirkan Partogi Samosir (mantan diplomat) dan Pdt. Ronny Mandang (Majelis Pertimbangan PGLII) sebagai pembicara kunci. Turut hadir sebagai penanggap Pdt. Yohanis Henock (Ketua STT Pokok Anggur), Hasudungan Manurung (Dewan Pengawas PPHKI), dan Prima Surbakti (Ketua Umum GMKI), dengan Nick Irwan sebagai moderator.
Diskusi dibuka dengan paparan data menohok dari Armed Conflict Location and Event Data Project (ACLED). Nick Irwan, selaku moderator, menegaskan bahwa konflik ini bukanlah isapan jempol belaka.
“Awalnya banyak yang mengira berita ini hoaks. Namun data menunjukkan ribuan korban jiwa telah jatuh, terutama dari komunitas Kristen. Ini bukan lagi isu regional, ini adalah isu kemanusiaan global,” tegas Nick.
Partogi Samosir membahas akar persoalan yang kompleks. Menurutnya, konflik ini berawal dari perebutan sumber daya alam dan ketimpangan ekonomi, yang kemudian dibumbui dengan politik identitas oleh kelompok ekstremis seperti Boko Haram. Lemahnya perlindungan dari pemerintah setempat menjadi bensin yang memicu kobaran kekerasan.
“Ini bukan sekadar persoalan agama. Ketika sumber daya diperebutkan, politik ikut bermain, dan pemerintah tidak hadir, maka kekerasan akan tumbuh subur. Itulah yang kita saksikan di Nigeria,” papar PaPartogi
Sementara itu, Pdt. Ronny Mandang menyuarakan keprihatinan yang lebih dalam. Ia menilai gelombang kekerasan yang sistematis ini telah berada di ambang genosida atau pemusnahan etnis. Ia mendesak gereja-gereja di Indonesia untuk bergerak, tidak sekadar menjadi penonton yang bisu.
“Kita tidak bisa diam. Gereja harus bersuara. Ini bukan semata soal iman, ini soal nyawa manusia,” serunya.
Para penanggap membawa diskusi ke konteks yang lebih dekat dengan kita. Hasudungan Manurung menyoroti sikap apatis yang kerap melanda masyarakat Indonesia terhadap isu global. Ia mendorong gereja untuk menjadi “suara kenabian” yang aktif mengedukasi jemaat.
“Kita sering apatis terhadap tragedi di luar negeri, padahal solidaritas tidak mengenal batas negara. Gereja harus tampil sebagai suara kenabian, bukan sekadar tempat ritual. Ini saatnya kita berbicara, bukan hanya berdoa,” tandas Hasudungan.
Peringatan serupa disampaikan Prima Surbakti. Ia mengingatkan bahwa benih-benih intoleransi dan kebencian yang sama, jika dibiarkan, bisa memicu konflik serupa di Indonesia. Tragedi Nigeria, katanya, harus menjadi cermin.
“Tragedi di Nigeria adalah cermin bagi kita. Jika kita tidak belajar dari sana, sejarah bisa berulang di sini. Anak muda perlu dibekali dengan empati, bukan hanya informasi,” ujar Prima.
Sementara itu, Pdt. Yohanis Henock menekankan peran gereja sebagai agen perdamaian yang harus meneladani kasih, bahkan kepada mereka yang dianggap musuh.
Sebelum diskusi ditutup, percakapan juga menyentuh situasi di Tanah Air, khususnya Papua dan kebebasan beragama. Partogi Samosir menutup dengan pesan yang menggugah: solidaritas sejati diuji di saat-saat sulit.
“Solidaritas kita diuji bukan saat senang, tapi saat penderitaan menimpa orang lain. Jangan diam, karena diam adalah bentuk persetujuan terhadap ketidakadilan,” pungkasnya.
Diskusi ini bukan sekadar percakapan virtual, melainkan sebuah panggilan moral. Sebuah seruan bagi semua pihak, dari gereja hingga masyarakat sipil, untuk memperkuat solidaritas, membela keadilan, dan peka terhadap penderitaan sesama manusia di belahan dunia mana pun.