Wartaindo.id, Jakarta- Polemik sistem apa yang akan dipakai dalam pemilihan umum anggota legislatif 2024 nanti terus bergulir. Publik pun masih diliputi tanda tanya, apakah sistem proporsional terbuka atau tertutup yang akan diterapkan nantinya.
Saat ini segala keputusan terletak di tangan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penentunya, sekalipun sudah ada partai politik yang secara tegas menolak diberlakukannya kembali sistem proporsional tertutup.
Efraim Yerry Tawalujan Ketua umum Gerkindo yang juga bakal calon legeslatif (caleg) Perindo dari daerah pemilihan (Dapil) Sulawesi Utara itu ketika di temui di sebuah kafe di bilangan Jakarta Pusat ,Selasa (30/5/23), dengan tegas mengatakan jika sistem pemilu mendatang menggunakan proporsional tertutup menandakan suatu kemunduran bagi kehidupan berdemokrasi di Indonesia.
“Dan jika itu diberlakukan berarti kemunduran yang luar biasa dalam perjalanan demokrasi bangsa ini. Kenapa? Dikatakan kemunduran karena kalau sistem proporsional tertutup yang berkuasa itu partai berarti rakyat tidak memiliki hak politik, hak demokrasi untuk menentukan caleg mana yang mewakili mereka di Senayan karena sudah ditentukan oleh partai,” ujar Juru Bicara DPP Partai Perindo, Bidang Sosial dan Kesra, ini.
Lalu, Yerry menambahkan, sistem proporsional terbuka sudah dilakukan saat pemilu 2019. Menurutnya jika pun ditemui kekurangan tinggal dibenahi.
“Karena sistem proporsional terbuka ini partai sifatnya hanya fasilitator, bukan penentu, dan partai hanya menyodorkan calegnya serta memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih calon yang dirasa mewakili kepentingannya,” ujar pria kelahiran Donggala, 10 Juni 1969, ini.
Dalam sistem terbuka, tambahnya lagi, caleg yang dicalonkan dipastikan memiliki popularitas dan kredibilitas di tengah masyarakat. Dengan demikian sistem proporsional terbuka dinilai sangat menghargai hak politik dan hak demokrasi rakyat.
Namun yang turut menjadi perhatian Yerry, MK tidak boleh memaksakan serta memutuskan pemberlakuan sistem proporsional tertutup sepihak dengan mengenyampingkan penolakan yang sudah diaspirasikan oleh delapan fraksi di DPR.
“Kalau sampai memutuskan proporsional tertutup MK bisa dikatakan anti demokrasi,” terang Yerry serius.
Ketika membahas penerapan Sistem Proporsional Tertutup yang dinilai lebih menghemat anggaran negara, Yerry meminta agar ada penyajian data sehingga masyarakat tahu besaran perbandingan anggaran tersebut.
Menurutnya besaran anggaran tidak jauh berbeda antara memakai sistem terbuka maupun tertutup. Namun yang terpenting, tambahnya, janganlah hak berdemokrasi yang hakiki itu dikorbankan dengan adanya alasan sisi gelap dari pencalegan yang konon sarat politik uang.
“Pertimbangannya harusnya apa yang dikehendaki rakyat itulah yang harusnya diputuskan karena itu menyangkut hak hakiki masyarakat, jangan lalu memaksakan kehendaknya,” tambah Yerry.
Di penutup paparannya, Yerry menhampaikan sudah ada juga survei tentang sistem pemilu proporsional terbuka mau pun tertutup. Dari data uang dihimpunnya, sebanyak 65 % masyarakat Indonesia memilih sistem terbuka.
“Makanya kalau MK tidak memakai pertimbangan tersebut lalu tetap memutuskan proporsional tertutup bisa dikatakan MK memaksakan kehendak atas paksaan dari pihak tertentu,” pungkasnya.