Perjanjian Kawin Makin Marak Perlukah Itu?

Semarang wartaindo Perkawinan adalah perjanjian kekal, yang diikat oleh komitmen seumur hidup, bukan kepada manusia namun kepada Allah, yang sudah ditetapkan oleh Allah dari sejak awal penciptaan, dan merupakan lembaga yang dirancang Allah. Perkawinan adalah persatuan dari Allah. Dalam bahasa Yunani syzengnymi, yang artinya mempersatukan pasangan. Bukan saja persatuan secara fisik saja, tetapi juga persatuan dalam memikul segala tanggung jawab.
Menurut UUPerkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam KUHPerdata, tidak ditemukan mengenai definisi perkawinan. Istilah perkawinan digunakan dalam arti sebagai suatu perbuatan, yaitu perbuatan untuk melangsungkan perkawinan dan perbuatan setelah perkawinan. Dengan demikian, pengertian perkawinan adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan pada saat tertentu. Ali Affandi menyimpulkan perkawinan adalah persatuan seorang pria dan wanita secara hukum untuk hidup bersama-sama selama-lamanya. Ketentuan ini tidak dengan tegas dijelaskan di dalam salah satu pasal, akan tetapi disimpulkan dari esensi mengenai perkawinan.

Hukum di Indonesia menganut sistem percampuran harta. Seperti yang terdapat dalam pasal 119 KUHPerdata dan pasal 35 ayat (1) UUPerkawinan. Yang berbunyi:

Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan suami istri (pasal 119 KUHPerdata)

Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (pasal 35 ayat (1) UUPerkawinan)
Negara mengatur hal yang berkaitan dengan harta benda suami istri. Baik yang diperoleh sebelum perkawinan, dalam perkawinan maupun setelah perkawinan. Namun dalam prakteknya kerap terdapat berbagai alasan calon suami istri yang menyimpang dari peraturan mengenai ketentuan harta bersama (gono-gini). Mereka memisahkan harta benda mereka untuk tetap menjadi hak masing-masing secara utuh, yaitu dengan cara membuat perjanjian kawin.

Dasar hukum perjanjian kawin terdapat dalam pasal 29 UUPerkawinan tentang perjanjian kawin dan pasal 139 KUHPerdata, yang berbunyi: “Para calon suami istri dengan perjanjian kawin dapat menyimpang dari peraturan undang-undang mengenai harta bersama, asalkan hal itu tidak bertentangan dengan tata susila yang baik atau dengan tata tertib umum, dan diindahkan pula ketentuan-ketentuan berikut.”

Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami atau istri secara otentik di hadapan Notaris. Isinya menyatakan bahwa mereka telah saling setuju dan mufakat untuk membuat pemisahan atas harta mereka masing-masing dalam perkawinan kelak.

Akibat perjanjian kawin adalah semua harta, baik itu berupa harta yang dibawa sebelum menikah, maupun pendapatan yang diperoleh setelah menikah kelak adalah hak dan milik masing-masing. Demikian pula dengan hutang dari masing-masing pihak.

Perjanjian kawin mulai mengalami pergeseran. Dahulu dianggap tidak pantas, tabu dan tidak cocok dengan adat dan budaya. Kini dianggap tidak tabu lagi bagi kalangan masyarakat tertentu. Dulu dianggap tidak pantas karena memberi kesan kalau perjanjian itu dibuat seolah-olah seperti ada niat terjadinya perceraian.

Banyak yang mendasari alasan mereka membuat perjanjian kawin. Salah satu alasan utamanya adalah kekhawatiran terjadi perceraian di kemudian hari. Sedangkan alasan lainnya misalnya suami istri yang sebelum menikah telah memiliki penghasilan masing-masing dan tidak ingin menyatukan hartanya. Karena dipandang pekerjaan suami beresiko secara finansial. Sehingga melindungi istri untuk tidak ikut menanggung semua utang atau segala kewajiban suami.

Masyarakat kalangan tertentu mulai menganggap perjanjian kawin merupakan bentuk perencanaan keuangan atau upaya perlindungan harta kekayaan dari pihak yang tidak diinginkan, serta untuk melindungi pasangan baik istri dan suami termasuk anak-anak apabila terjadi hal buruk dalam perkawinan.

Perlukah perjanjian kawin? Berikut beberapa pendapat tentang perjanjian kawin apakah perlu atau tidak:
Allina Koesdarto, S.H, M.Kn. (Notaris PPAT kota Tarakan):

“Mengenai perjanjian kawin dalam pernikahan kristiani, aku mengemukakan pendapatku sebagai seorang kristiani yang telah menjalani pernikahan 22 tahun ditambah masa pacaran 5 tahun sebelumnya. Menurutku itu tidak perlu. Karena awal kita berjanji di hadapan Tuhan di depan altar kita berdua dengan pasangan sudah disatukan dalam Tuhan saat memasuki bahtera rumah tangga. Suka duka, senang susah, untung malang, sehat sakit dilalui bersama-sama. Artinya semua ditanggung bersama-sama.”

Joko Waluyo S.H, Sp. Not. Mm (Hakim Utama Pratama pada Pengadilan Negri Mojokerto):
“Perjanjian kawin pisah harta, disesuaikan dengan cara pandang dari para pihak yang akan membuatnya. Bisa jadi hal itu perlu atau tidak perlu. Karena hal tersebut masih dipandang tabu (saru) untuk diaplikasikan di masyarakat kita yang memang tidak memiliki sifat individualistis. Jadi semuanya diserahkan kepada para pihak yang ingin membuatnya. Tidak ada ukuran yang dipandang bahwa apakah perjanjian kawin ini diperlukan atau tidak. Untuk perkawinan campur maupun perkawinan pada umumnya, pendapat saya masih sama, yaitu hal semacam ini (perjanjian pisah harta) tetap digantungkan kepada keinginan para pihak.”

Hideria Damanik S.H, M.PD.K. (Pengacara dan konsultan hukum, dosen, Kaprodi PAK di STT Efata Salatiga):
“Kalau menurut saya sih ndak perlu ada perjanjian seperti itu. Karena antara suami dan istri kan sudah satu, berarti penghasilan dari istri milik bersama, sebaliknya penghasilan suami juga milik bersama. Sehingga harta bersama diperoleh setelah menikah.”

Pdt. Agus Santoso, S.Th. (Rohaniwan GIA Jemaat Dr. Cipto Semarang):
“Yang jelas dasar Alkitabnya Matius 19:6, mereka bukan lagi dua melainkan satu. Pernikahan itu mempersatukan dua pribadi yang berbeda jenis kelamin menjadi satu suami istri. Tentu saja dalam hal pengumpulan harta kekayaan juga satu. Kalau masih sendiri-sendiri itu belum pernikahan sebab unsur menjadi satunya belum terpenuhi. Saya kalau mengajar katekisasi pranikah dan konseling jemaat yang mau menikah selalu tekankan dan singgung masalah ini. Sebab efek kedepannya bagi mereka setelah menikah besar sekali.”

Perjanjian kawin ternyata dalam kehidupan sehari-hari telah marak di kalangan manapun juga. Mereka sebelum menikah membuat perjanjian kawin atas kesepakatan bersama. Untuk mengantisipasi perceraian yang sering terjadi di kalangan mereka.

Dalam perkawinan kristiani, perkawinan adalah persatuan. Seperti yang tertera dalam Matius 19:6 yang mengatakan bahwa demikianlah mereka bukan lagi dua melainkan satu. Dengan persatuan secara total dalam segala bidang, apa yang menjadi milik suami adalah milik istri. Demikian juga dengan harta benda yang diperoleh merupakan milik suami istri bersama.

Oleh: Suciyati, S.H, M.Kn.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *