Wartaido Jakarta Pimpinan BPD Sinode Gereja Bethel Indonesia (GBI) Provinsi Riau dilaporkan ke Polres Siak, Riau atas dugaan pencemaran nama baik. Mereka antara lain Pdt. Ekel Sihotang (Ketua), Pdt. Leonardo (sekretaris). Bersama itu dilaporkan juga Thamrin Sihotang, Agusrai Hasugian dan Hastli Nahampun. Demikian disampaikan Dr. Zevrijn Boy Kanu M.H (Pengacara pelapor Pdt. Syaiful Hamzah, MTh) pada konperensi pers yang berlangsung di kantor Peradi Bersatu PIK 2, Tangerang, Selasa (14/10). Pada jumpa pers tersebut hadir juga pelapor Pdt. Syaiful Hamzah, MTh.
Laporan ke Polres Siak diwakili pengacaranya Dr. Muhamad Ally Mustaqin M.H dan diterima langsung Kasat Reskrim Polres Siak Brigpol Kepala Jefri Ihwan. Sekarang sedang diproses dan masuk penyelidikan.
Dijelaskan Ketua Peradi Bersatu ini langkah hukum terpaksa diambil kliennya karena permohonan mediasi tidak diindahkan oleh pimpinan GBI. BPD sudah ketemu dengan BPH Sinode GBI.
“Dugaan laporan mencemarkan nama baik Pdt. Syaiful Hamzah. Persoalannya ada dugaan pencemaran nama baik oleh oknum. Sudah diminta mediasi Ketua BPD Riau. Kita sudah surat ke BPH GBI sudah dua kali dilayangkan tidak ditanggapi. Terpaksa kita Laporkan. Apakah terbukti nanti biar pengadilan,” tuturnya sembari menambahkan minta mediasi dilakukan di Jakarta. Namun sangat disayangkan tidak direspon sama sekali.
Ikhwal terjadi pelporan Pdt. Syaiful Hamzah, MTh menjelaskan bermula dari GBI Gloria, Dayun, kabupaten Siak. Jemaat Gloria ini sebelum berdiri, merupakan jemaat pecahan dari sebuah gereja, yang tidak ada di sinode.
Kemudian mereka (Agusrai dkk) minta digembalakan dan menyatakan kesedian GBI Gloria menjadi cabang gereja di bawah GBI JPS 22 Jakarta. Permintaan ini disanggupi dengam menahbiskan dan kemudian dibangunkan gereja. Namun, kata Saiful, setelah gereja berdiri mereka mulai bertingkah dan ada dugaan melibatkan Thamrin Sitohang dan Ekel Sihotang yang juga pengurus BPD GBI Riau.
“Awalnya Agusrai Hasugian dan istri meminta dan memohon mohon agar persekutuan mereka dinaungi gereja GBI JPS 22 Jakarta, sama seperti gereja cabang kami yang ada di tapanuli, dan juga mereka memohon agar mereka di gembalakan oleh saya serta menyerahkan sepenuhnya kepada saya sebagai gembala mereka. Dulu mereka GPDI kemudian keluar pindah dengan 20 KK. Setelah mereka dipecat sebagai jemaat GPDI barulah mereka gabung ke gereja kami tahun 2024,” ujar menjelaskan. Saiful selain menabiskan, melayani pernikahan dan juga melengkapi surat menyurat dan mendaftarkan STL ke BPD GBI Riau.
Tak diduga oleh pengurus cabang belakangan seolah mereka gereja mandiri. Ketika dirinya melayani bahkan Korwil Siak menyela dengan bertanya kenapa pakai pendeta Jakarta.
“Saya langsung tegor pendeta yang korwil Siak dan dia tidak mengaku.”
Dirinya heran karena BPD menilai bahwa Surat Tanda Lapor (STL) sudah dianggap habis masa berlakunya. Dengan kata lain, berakhirnya masa berlaku STL maka Pdt. Saiful tidak menggembalakan lagi.
“Gereja ini adalah jelas cabang kami, ditandatangaini 20 jemaat dan ada suratnya. Kenapa BPD bilang mandiri?” kritiknya pedas. Pendeta asal Makassar ini merasa dengan timbul konflik ini, ia merasa harga dirinya diinjak-injak dan ini jelas tidak bisa diterima.
“Saya sempat menulis, ada mafia struktural gerejawi. Ada respon bertanya kebenarannnya, kalau tidak benar libas saja. Kalau benar minta maaf dan bertobat. Kalau saya salah saya bertobat,” tegasnya.
Awalnya dikatkan mengundurkan diri sepihak. Saiful mencoba menghubungi BPD dikatakan bahwa jemaat mundur. Padahal surat sudah ada sepenuhnya, saya menggembalakan.
“Saya dipanggil bertemu BPD dan Pak Heru Cahyono (Sekum BPH) di Jakarta, namun Pak Heru mengatakan dikembalikan ke BPD. Ini kan nggak benar, khan BPD bermasalah seharusnya BPH tidak lepas tangan.”
Diakui Saiful bahwa mereka meminta mediasi lewat surat, tapi ia mengatakan bersedia asal dilakukan di tempat netral.
“Karena sudah dilaporkan. Saya minta ganti rugi ke BPD 300 Juta. Kalau mau dame baik-baiklah. Tidak begitu caranya, pengurus sebaiknya diganti. Kalau baik-baik mereka minta, saya akan lepas. Ini bicara ayat tapi tindakan tidak selaras.”
Ia sangat menyesalkan bahwa ada upaya memlinter dengan seolah-olah kantor BPD tidak netral. Termasuk dibilang dikroyok, itu diplintir kata dikroyok lebih kalau mediasi di Riau mereka ramai-ramai. Ini bisa laporan dengan Muhammad Ali.
Pengacara senior Boy menambahkan Saiful merasa dihianati sebab awal bikin perjanjian lalu di tengah jalan dibelokkan.
“Jangan-jangan ini modus, sudah ada dua gereja sama masalahnya di sana. Laporan ini tujuannya ada efek jera agar tidak ada pendeta yang lain bernasib sama. Kita melapor karena kita tidak dilindungi BPH malah BPH mengembalikan ke BPD. Sementara BPD di duga terlibat dalam masalah ini.”
Ditambahkan, gedung gereja dibangun dari nol. Ada jasa Pak Saiful. “Kita membuka pintu mediasi di kepolisian, nanti bisa dengan restroactive justice,” tutur pengacara pembela Jokowi dalam kasus ijazah.
Ditengarai bahwa tindakan Agustra dan Hastli didorong oleh ambisi pribadi untuk menjadi pejabat (pendeta) di lingkungan GBI, sehingga diduga kuat mereka berupaya menyingkirkan pelayanan penggembalaan yang sah, yakni Pdt. Syaiful Hamzah, M.Th. Hal ini semakin jelas karena permintaan tersebut disampaikan langsung oleh Agustra kepada Pdt. Syaiful Hamzah, selaku gembala penggembalaan dan pemimpin pelayanan yang sah di bawah naungan GBI JPS 22 Jakarta. “Jelas permintaan itu tidak bisa saya penuhi,” tegas Pdt.
Syaiful Hamzah. “Sebab untuk menjadi seorang pejabat GBI (pendeta) bukanlah hal yang instan, melainkan harus melalui proses sesuai dengan Tata Gereja GBI.” Lebih lanjut, Pdt. Syaiful menjelaskan bahwa berdasarkan pengalamannya sendiri, untuk menjadi pejabat GBI (pendeta) harus melalui masa pelayanan dan penggembalaan yang panjang. Ia menegaskan,
“Saya sendiri menjalani proses pelayanan selama 15 tahun barulah ditahbiskan secara resmi sebagai pejabat GBI (pendeta).”. Maka oleh Pdt Syaiful Hamzah M. Th. menolak permintaan Agustra karena belum memenuhi syarat.
Ketika dimintai konfirmasi, Ketua BPD GBI Riau, Pdt. Ekel Sihotang, S.Th menegaskan kalau memang sudah dilaporkan ke Polres kita tunggu hasilnya. “Ya silahkan dibuktikan, supaya jangan jadi fitnah,” tukasnya.
Menurutnya perkara ini sebenarnya sudah pernah dimusyawarahkan di Sinode Pusat GBI Jakarta, namun belum menemukan titik temu. Ia juga membantah tudingan bahwa dirinya mendukung pihak Agustra dan Hastli, dengan alasan, “Kalau memang saya tidak mendukung pelayanan Pdt. Syaiful Hamzah, mana mungkin saya menerbitkan Surat Tanda Lapor (STL),” ujarnya.
Masalah ini sebenarnya tidak perlu diekspose ke media. Cukup diselesaikan secara organisasi. Aturan GBI mengatakan kalau ada masalah atau konflik selesaikan dulu di tingkat jemaat. Kalau tidak bisa baru dibawa ke BPD. Tidak ada solusi dibawa ke Sidang Majelis Daerah kalau masih mentok baru di bawa ke BPH GBI. Kalau masih belum bisa dibawa ke Sidang MPL dan hingga tingkat terakhir Sidang Sinode.
“Itu cenderung asumsi. Tidak benar BPH mengembalikan kr BPD. Kasian sebenarnya gereja di bawa-bawa ke ranah hukum kan ada mekanisme menyelesaikan. Sudah dua kali kami panggil di BPD dan kantor BPD kan netral. Kita tunggu hasilnya aja,” ujarnya.
Reporter Junyor