PANCASILA DAN PEMERINTAHAN BARU

Oleh : Yudhie Haryono

Wartaindo.id Jakarta Program apa yang dapat kita titipkan buat pemerintahan baru? Tentu banyak. Tapi izinkan kita pilih satu yang paling subtantif dan hulu. Apa itu? Menjinakkan krisis ekonomi-politik. Apa tengarainya? Terjadi perubahan ekonomi secara cepat dan mengarah pada turunnya nilai tukar mata uang karena utang menumpuk, KKN, munculnya program pengurangan pajak korporasi dan konglomerasi sehingga defisit APBN serta harga kebutuhan pokok makin tak terkendali, deflasi yang berulang, terkikisnya kelas menengah dan hancurnya daya bayar.

Semua bermula. Dan, mula itu bisa ditengarai dengan 5i: investasi (asing/utang), interfensi (via pakar dan tenaga asing), infiltrasi (via lembaga keuangan global), instabiliti (via media dan defide et impera), invasi (via UU).

“Kalian tahu pangkal krisis? Tanyaku suatu kali pada mahasiswaku.” Adalah, “iman pada pasar yang berlebihan.” Padahal, iman pada pasar yang berlebih (neoliberalisme) itu penyakit kangker. Ia makin lama makin resisten terhadap vaksin sehingga ketika bertamu, kita butuh dosis yang makin tinggi untuk mengusirnya. Tapi saat bertamu kembali, dampak kerusakan ekonomi negaramu makin dahsyat. Virus ini diternak, dikirim, disebar, disuburkan, ditradidikan, dikurikulumkan dan dibenarkan sampai semua beriman.

Neoliberalism is unstable because it is a financial and accumulating system with yesterday, today n tomorrows (last, now n next) with greedy. They make instability like a normal result. Inilah anabolic steroid dan doping-doping yang sangat berbahaya!

Tentu saja, krisis adalah istilah lama dalam teori siklus bisnis. Ia merujuk pada perubahan tajam menuju resesi ekonomi dan sering merubah arsitektur politik. Dus, ia bukan peristiwa biasa. Ia justru sering menjadi alat bagi siapa saja untuk menjatuhkan atau mempertahankan suatu rezim dalam negara.

Krisis akan makin akut saat kita tak memiliki alat kebijakan untuk mengatasinya. Terlebih, saat ruang untuk stimulus fiskal sangat terbatas di tengah utang publik yang jumbo. Dus, kemungkinan untuk menggelar kebijakan moneter luar biasa akan dibatasi oleh neraca yang sudah membengkak, serta ruang terbatas untuk memangkas suku bunga.

Tetapi, dari semua argumen itu, ternyata krisis memang “anak haram demokrasi liberal.” Ia lahir, tumbuh dan berkembangbiak dari rakhim itu dan, lalu menghidupinya. Resiprokal. Makanya, saya tak percaya demokrasi liberal ada manfaatnya buat republik dan warga miskin seperti kita. Saya juga tak beriman pada demokrasi liberal yang sedang berjalan di Indonesia.

Bagaimana menghadapinya? Dengan merdeka 100%. Proklamasi kembali. Dengan berdikari. Jalannya via nasionalisasi, transformasi shadow economic, ngemplang utang, proteksi industri, nuklirisasi, pajak super progresif dan praktik hidup zuhud, crank, menyempal.

Jika belajar dari Amerika, kita perlu mengkaji sepak terjang Ted Roosevelt ketika menumpas patgulipat Carnegie-Jp Morgan-Rockefeller dan menikam krisis yang diciptakan para oligark di elite negara.

Jika belajar dari India, kita perlu mengkaji Gandi dalam menggalang persatuan dan mengusir begundal-begundal Inggris saat merampok warganya.

Jika belajar dari para pendiri republik, kita wajib menghidupkan pikiran dan gagasan besar Tan Malaka. Sebab baginya, “kemerdekaan Indonesia harus dicapai lewat revolusi, bukan diplomasi.” Revolusi yang bagaimana? Tan Malaka menjawab, dengan kerja sama antara kaum proletar dan bukan proletar. Dua agensi tersebut tetap merupakan syarat mutlak yang harus dipertahankan.

Bila kerja sama antar agensi ini sampai terputus, ia memperkirakan kondisi terciptanya perbudakan nasional, yaitu penjajahan bangsa sendiri oleh satu agensi yang berkuasa.

Maka, revolusi Indonesia bagi Tan Malaka, haruslah bermata dua: keluar untuk menghapuskan imperialisme, fundamentalisme dan oligarkisme. Kedalam harus membabat habis feodalisme, fasisme dan tribalisme.

Tanpa konsepsi tersebuat, terciptalah Indonesia hari ini: krisis yang berulang dan mencipta republik swasta, pamong jongos, peternak babu dan elite maling.

Dari sini, kita perlu rumus identifikasi pejabat pemerintah itu agen penjajah atau bukan. Alat identifikasi itu untuk mencandra tindakan eko-politiknya mengarah pada penciptaan krisis, inefesiensi, perampokan dan hasut pecah belah masyarakat atau sebaliknya.

Dari rumus itu, kita dapat menarik nama-nama daftar agen penjajah atau pahlawan pembela bangsa di sekitar kita. Ini penting sebagai ekspresi republik pancasila yang menjujunjung etika, moral dan kesentosaan sesama. Inilah republik pancasila.

Jika rumusan itu disepakati maka kita akan mudah menulis ulang arsitektur ekonomi-politik Indonesia secara lebih Pancasilais. Tentu agar ada alternatif dalam menyusun aturan main berekonomi-politik ala Indonesia. Tidak sekedar kopi paste yang sering tidak mendekati janji proklamasi dan konstitusi. Sebaliknya makin menjauh dan membuat ketimpangan bin kejahiliyahan via krisis yang diciptakan berulang-ulang.(*)

Penulis adalah Presidium Forum Negarawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *