Wataindo.id Jakarta Novel tentang Injil Maria Magdalena, Yudas Iskariot dan Kemesiasan Yesus direspon pendeta Gomar Gultom saat bedah buku yang digelar di Yayasan Komunikasi Indonesia (YKI0 Jalan Matraman Raya 10 A Jakarta Selatan rabu 23 April 2025 di mana dikesempatan itu Gomar menanggapi buku ini mengingatkan akan The Gospel of Mary, sebuah injil gnostik, yang merupakan terjemahan Yunani dari abad ke-3. Isinya perdebatan para murid paska kebangkitan Yesus.
Isi The Gospel of Mary ini mengungkapkan gagasan Maria untuk pemberitaan, sebagaimana juga nampak dalam semangat Maria di akhir novel Padmono ini. Yang membedakan adalah, The Gospel of Mary itu sangat khas gnostik.
The Gospel of Maria ini sejak awal berisikan pertentangan di kalangan para murid, terutama pertentangan antara Andreas dan Petrus berhadapan dengan Maria.
Andreas mengatakan, “Ajaran-ajaran ini berasal dari pemikiran yang berbeda, sangat gnostik dan esoteric”, sementara Petrus mengatakan, “Apakah mungkin Yesus berbicara secara rahasia kepada perempuan (Maria) dan bukan kepada kita?
Pertentangan Maria dengan Petrus juga muncul dalam Injil Tomas, dan Injil Koptik Mesir; mencerminkan sejumlah ketegangan dalam kekristenan abad kedua. Petrus dan Anderas mewakili posisi ortodoks untuk menyangkali keabsahan pernyataan esoterik sekaligus menolak otoriras perempuan dalam gereja..
Saya melihat hal-hal yang demikian itu juga muncul dalam novel ini. Sesungguhnya tidak ada yang baru dalam novel ini.
Novel ini memang mengisahkan pergumulan batin Maria Magdalena, kekaguman dan kecintaannya pada Yesus, sebagai seorang lelaki tampan, sesuatu yang tidak ada dalam keempat Injil. Tetapi, sekali lagi bukan hal baru.
Dengan sangat halus dan apik hal ini pernah muncul dalam drama Broadway yang ditulis oleh Tim Rice (Bersama Andrew Llyod Webber untuk musiknya) pada 1970, di bawah judul Jesus Christ Superstar. Pada 1973 difilmkan oleh Norman Jewison sebagai sutradara dan sempat dilarang beredar di Indonesia.
Tentang percintaan Jesus dengan Maria Magdalena muncul lebih dahsyat lagi dalam novel The Last Temptation of Christ karya Nikos Kazantzakis dan oleh Martin Scorsese difilmkan (1988). Tetapi tentang Percintaan dan hingga Yesus berkeluarga dan memiliki anak bersama Maria Mahdalena dalam karya ini hanyalah godaan yang muncul dalam kayalan Yesus, saat menderita di kayu salib, yang oleh para ahli disebut merupakan Temporal Lobes Epilepsy (TLE).
Dalam pemaparannya, Padmono juga tidak seberani Dan Brown, dalam Da Vinci Code. Padmono hanya menggambarkan nafsu membara Maria Magdalena, tetapi dengan halus ditepis oleh Yesus, meski Yesus juga nyaris merasakan hal sama.
Novel ini karya seorang jurnalis tetapi ini bukan laporan jurnalistik tetapi sebuah refleksi, lebih merupakan hasil sebuah pergulatan dan kesaksian iman. Ini sebuah novel, artinya sebuah fiksi. Tetapi memang bukan sepenuhnya cerita fiktif, dia berdasar pada ceritera Alkitab.
Sebagai sebuah novel, plotnya sangat lemah. Lebih merupakan resensi Injil. Dan terlalu banyak berkotbah.Dia tidak bisa berdiri sendiri, tanpa kita memahami isi Injil dalam Alkitab. Jadinya lebih merupakan resensi. Dan resensi yang dilakukan, penuh imajinasi dan tafsiran inkonvensional. Sesuatu yang sah-sah saja. Tetapi apakah ini melalui sebuah studi dan penelitian yang intens, saya tidak berani menilai.
Kalau mau tuturan imajinatif yang melalui proses studi mendalam, ada buku yang sangat menarik, yang ditulis oleh seorang maha guru Universitas Heidelberg, Gerd Theissen, dan telah diterjemahkan di bawah judul “Yesus Resiko Keamanan” diterbitkan oleh Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik pada 1989.
Gomar memberikan tiga catatatan atas novel ini: pertama, bersyukur untuk penuturan penulis yang sejak awal mengangkat budaya partiark dan sangat banyak mewarnai penulisan novel ini. Kedua, menarik sekali Padmono mengangkat berbagai konflik internal para murid. Pertentangan yang muncul, pastilah tafsiran imajinatif penulis, karena tidak ada dalam keempat Injil Perjanjian Baru. Kesan yang dimunculkan adalah semua murid, tanpa terkecuali, semua punya kepentingan. Semua murid punya agenda. No free lunch. Apakah demikian juga para pelayan dan pemimpin gereja saat ini? Allahualam.
Ketiga, dewasa ini sering sekali muncul adagium, “Jesus is the answer”. Itu benar. Tapi novel ini juga seakan hendak mengatakan, Yesus juga mempertanyakan segala hal (maaf, ini tafsiran saya saja). Hal ini dalam novel ini membawa kebingungan. Berkali-kali hal ini muncul, ketidak mengertian para murid, bahkan dalam diri Yesus sendiri, yang masih terus mempertanyakan maksud kehadiranNya.
Selain Gomar Gultom hadir narasumber lainnya Pdt Silvana Apituley dari Departeman teologia GPIB dan Padmono sendiri sebagai penulisnya. Sementara Robert Sitorus sekretaris umum YKI memberikan kata sambutan tentang novel karangan Padmono ini yang membuka ruang kebebasan tafsir tentang memahami Injil.
Bedah buku ini sendiri diselenggarakan Yayasan Komunikasi Indonesia dan bekerjasama dengan Persatuan wartawan Nasrani Indenosia (Pewarna). Yus