Menunggu Sastra Revolusionar

Oleh :Yudhie Haryono

Wartaindo.id Jakarta Apa obat selain ideologi untuk negara yang alpa? Apa jamu bagi negeri paria di semesta? Apa herbal bagi bangsa panen KKN dan neokolonialisme? Kujawab tegas: sastra.

Tentu saja bukan sastra hari ini yang bergerak menuju sebuah dunia utopia, dunia ilusi, ketikan yang tak lagi menjejakan kakinya di bumi, tak lagi lahir dari tanah, tak dibaui oleh udara, dan tak terbakar api Indonesia.

Melainkan sastra yang revolusioner; menghentak dan menggugat realitas yang tak pantas. Sebab, di negara miskin, kita menjadi minus ide. Defisit kapasitas. Tak punya solusi. Pencipta masalah. Maka, yang dibagi hanya sembako. Yang diributkan hanya kaos. Yang dipertontonkan cuma utang. Yang dibanggakan “bangun badan, bukan bangun jiwa.”

Satralah yang mengetik kata dan problema. Sastralah pembentuk sebuah harapan, impian, cita-cita dan keidealan. Maka, sajak-sajak itu mulai lantang terdengar; puisi-puisi itu mulai tumbuh dan bergelora; novel-novel itu menawarkan dunia alternatif; lagu-lagu itu menggiring pada kesadaran.

Tentu terdengar sangat sepele namun dampak yang ditimbulkan begitu dahsyatnya yang biasa kita sebut dengan nama revolusi. Trias revolusi: nalar, mental dan konstitusional. Terlihat biasa tetapi bisa dan mampu menggerakan manusia dari kegelapan ke kemerdekaan; dari kemiskinan ke gotong royong; dari ketimpangan ke keadilan semesta plus kesejahteraan abadi.

Itulah sastra; inilah kata; itupah karya; inilah energi bahasa. Semua menjadi senjata yang tidak kenal jaman. Itulah sastra, yang biasa digunakan oleh mereka sebagai senjata, ketika sebuah rezim dungu berkuasa.

Sastra ini bicara problema dan solusi berbangsa, bernegara dan berwarganegara. Ketikan soal-soal penting, genting dan runcing. Soal yang kita setujui untuk membak mati semua koruptor dan nasionalisasi asetnya ke APBN. Juga menembak mati semua komprador asing-aseng dan menyita kekayaannya ke APBN.

Sastra yang mendukung dengan tegas untuk kita membak mati semua neokolonialis (lokal dan asing) dan rebut kembali harta rampokannya ke APBN. Juga membak mati semua elite predatoris, kartelis, oligarkis, kleptokratis dan sita kekayaannya ke APBN.

Sastra yang membak mati semua birokrasi yang fasis, agamawan teroris plus rakyat apatis dan sita semua harta miliknya ke APBN.

Inilah sastra realis yang membebaskan Indonesia. Inilah indonesia yang merevolusikan sastra. Bukan sastra langit, walau tak bisa kita ingkari pesonanya: bintang dan galaksi.

Sadar dari pesona, amalkan pancasila dan gemakan sastra revolusioner. Dan, jika itu pekerjaan menyejahterakan indonesia maka tiba waktunya untuk bertarung. Menumpas angkara. Melawan musuh lama. Menggilas musuh masa kini. Mengantisipasi musuh masa depan. Merekalah penjarah. Para penghasut dalam hati, pikiran dan perbuatan.

Kesadaran ini penting sebab sejak sastra revolusioner tak berkuasa, buku tak dibaca, pengetahuan tak dibeli, hikmah tak ditradisi. Sejak sastra tak menjadi bendera revolusi, semua berhenti mati. Lalu, semua musnah dalam dua kata: pencitraan dan blusukan.

Engkaulah kini sastra satu-satunya yang kita butuhkan untuk hidup bermartabat dan terus melawan. Demi bumi, rumah dan masa depan kedaulatan. Sastra yang bisa membuat jiwa kita bergairah kembali. Samudra kita yang pernah mati, hidup kembali semilyar waktu.

Pada WR Supratman, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Rendra, Hamka dan Wiji Tukul kita bisa belajar.

Satra mereka membuat bulan kita menjadi berarti setiap waktu. Setelah bertrilyun waktu membatu. Matahari kita yang sempat menghilang bagaikan ditelan takdir akhir, kembali bersinar ikhlas. Sastra yang sempat menjadikan pancasila dan indonesia tinggal sisa dan onggokan sampah yang menyerah: kalah, kembali gairah. Sastra revolusionerlah obat dan jawabannya.(*)

Penulis adalah
Rektor Universitas Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *