Oleh : Yudhie Haryono
Jadi. Maka, terjadilah. Kondisi di mana kita semua (yang tidak hanya 0.01%) menyembah uang. Ideologi kita demi uang, politik kita untuk uang, ekonomi kita dari uang, budaya kita kumpulkan uang, pertahanan dan keamanan kita oleh uang, agama kita mengeruk uang, dan elite kita melahap uang, istri dan suami serta anak-anak kita mabuk uang.
Maka, KKN (mengutil dan mengumpulkan uang) kita makin riil dan tidak tak terbantahkan. Cepat dan pasti elite kita ditangkap KPK serta dipenjara. Tetapi, itu tak membuat efek jera. Makin hari, mereka merampok dengan cara lebih canggih, terstruktur, sistematis plus masif.
Padahal semua kaidah kebijaksanaan kuno berpesan, “Siapa mencintai uang tidak akan puas dengannya, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan memiliknya. Keduanya merupakan pola sia-sia. Uang dan harta yang berlimpah-limpah tidak dapat memberi arti kepada hidup dan tidak bisa mendatangkan kebahagiaan sejati. Keduanya membawa orang pada kepalsuan, kerendahan dan kebejatan.”
Uang adalah akar segala kejahatan. Karena memburu uang, banyak orang menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai duka-nestapa-paria. Maka, janganlah engkau beriman pada keuangan yang maha kuasa. Haramkan dirimu hidup dari uang, oleh uang dan untuk uang sebab ia adalah mammon (serendah-rendah kehidupan).
Inilah orde dharmafulusia. Maknanya, sebuah kekuasaan karena menyembah duit dan perintah para penjahat yang kaya raya. Ontologinya: dari uang, oleh uang dan untuk uang. Sebuah kekuasaan minus dharmareligia (keilahian) dan matinya dharmawangsa (kemanusiaan). Inilah negerimu kini. Negeri yang didirikan dengan pancasila tetapi ternak pengkhianatnya lebih cepat dari produksi kesatrianya.
Karena menyembah uang dan tak kuasa memanggul ingatan, banyak presiden kita “lupa daratan” hingga dikudeta dan diturunkan. Tetapi, lagi-lagi ini tak jadi kaca benggala. Tak jadi peringatan dan sejarah yang tak harus diulangi. Mereka lupa bawa seharusnya itu pelajaran.
Bahwa, ketika uang besar dan kekuasaan besar didapat, maka dua hal yang dimiliki bisa membuat yang kaya dan berkuasa menjadi ‘lupa’. Bisa lupa asal-usul, lupa teman, lupa keluarga, lupa dengan kolega, lupa pada proses awal uang dan kekuasaan didapat, lupa pada kegunaan uang dan kekuasaan itu untuk apa, lupa pada hakekat uang dan kekuasaan itu bermakna untuk apa. Bisa juga lupa cara berterima kasih. Lupa menempatkan diri. Lupa pada jatidiri. Lupa pada sangkan paraning dumadi. Lupa semua sampai gila.
Akhirnya, dalam republik uang yang diongkosi para oligark, perampok ngopi di istana; pencuri kongkow di senayan; pencopet beraksi di pinggir jalan. Rakyatnya yang sekarat: dihibur sinetron pengusiran dan penyiksaan tak berkesudahan.
Lalu, mata kuliah geografi-ekonomi-politik (geoekopol) tidak dihadirkan sebagai disiplin ilmu yang membahas tentang sistem ekonomi dan politik yang berhubungan dengan letak geografis suatu negara. Ilmu ini bahkan didelet dari kampus kita. Kita rabun pada ilmu ini karena kini jadi ilmu langka.
Padahal, geoekopol juga bisa diartikan sebagai sistem ekopol atau peraturan-peraturan dalam wujud kebijaksanaan dan strategi nasional yang didorong oleh letak geografis suatu negara agar lakunya pancasila: bertuhan, berkemanusiaan dan bersemesta. Dus, sangat penting tapi diabsenkan.
Akibatnya kita dijajah kembali. Padahal, penjajahan hadirkan kebodohan. Lalu kebodohan mendatangkan kemiskinan. Lalu kemiskinan menghasilkan kekufuran. Lalu kekufuran memperanakkan penjilatan. Lalu penjilatan memastikan pengkhianatan.
Ngeri. Betul-betul mengerikan. Tapi jangan terus bersedih. Mari bersegera sadar dan lawan. Sebab, tugas kita mendelet itu semua (5 warisan kolonial) untuk memastikan hadirnya nusantara sorga dan bumi sorgawi secepatnya. Semoga.(*)
Oleh Presidium Forum Negarawan